Sigit Rais atau yang biasa kita kenal dengan S. Rais
adalah salah satu sastrawan Indonesia yang berbakat. Beliau mulai menggoreskan
penanya pada tahun 1994. “Bendera
Indonesia” adalah puisi pertamanya yang dimuat di tabloid anak-anak Fantasi
pada 1994 dengan honor sebesar Rp10.000. Kemudian, sejak saat itu
tulisan-tulisannya, baik berupa opini, pantun anak, dan puisi kerap menghias
tabloid Fantasi dan Hoplaa. Pada tahun 2002, Beliau secara lebih serius
menekuni dunia penulisan sejak kuliah di Program Bahasa dan Sastra Indonesia,
FPBS UPI. Tulisan-tulisannya pun dimuat di Pikiran Rakyat, Radar Bandung,
Bandung Post, Lampung Post, Gaul, BEN! Yogyakarta, buletin Literat, Dinamika
& Kriminal, buletin Pawon Solo, majalah sastra dan seni Aksara, majalah Islam
Message, majalah HAI, dan majalah Cerita
Kita. Banyak pula buah karyanya yang dibukukan misalnya, Antologi ON/OFF
Cinta Pertama (Insist
Press, 2005), Kumpulan puisi dan essai Ode Kampung (Rumah
Dunia, 2006), 142 Penyair Menuju Bulan (KSSB, 2007), Kumpulan
Cerpen Pentas di Atas Mimpi (Taman Budaya Jawa Tengah, 2008), Kumpulan
Cerpen Turbulensi (Hasfa Arias, 2011), Solo dalam Puisi (2014), dan masih
banyak lainnya.
Salah
satu buah karya cepen S. Rais adalah Sandal Jepit Merah yang menceritakan
sebuah kemalangan hidup seorang perempuan tua yang tinggal di sebuah gubuk
reyot. Ia hanya hidup sebatang kara. Anak semata wayangnya yang bernama Zaenal
Mutakin telah pergi menghadap sang kuasa. Ketika itu, Di suatu senja yang
memerah, burung gagak bertengger di atap kamar kontrakannya. Berbondong-bondong
para tetangga mendatanginya yang sedang memasak agar-agar untuk pangeran
kecilnya. Pak RT memimpin rombongan sambil menggendong Zaenal mungil yang baru
berusia empat tahun itu. Tubuh bocah itu kuyup. Matanya terpejam bagai putri
tidur. Tangannya menggelantung lemas. Tak ada napas. Langit merah mulai
menghitam setelah keriuhan dihantam lantunan adzan. Air mata membanjir. Zaenal
mungil telah pergi dijemput malam. Sungai yang tenang di pinggir kampung
terlalu dalam untuk direnanginya tadi siang. Saat ditemukan, tubuhnya telah
mengambang bagai perahu. Di pinggir sungai, sepasang sandal jepit mungil
berwarna merah darah kesayangan Zaenal mungil terbujur bisu.
Mimpi
– mimpi sang ibunya tentang zaenal kecil sirna sudah. Mimpi tentang Zaenal yang kelak menjadi dokter, olahragawan, bahkan presiden telah
hanyut bersama nyawa putranya. Hanya sebuah sandal jepit merah yang termangu di
sampingnya. Setelah kejadian itu, Mamat, suami perempuan itu yang menyuntingnya
dulu saat ia berumur lima belas tahun memarahi nya habis-habisan. Mamat
mengusir perempuan tegar itu pergi dari sepetak kamar di pinggiran kota yang
disewanya. Batapa pedih nya luka hati sang perempuan itu. S. Rais mampu
menggambarkan suasana hati perempuan itu dengan gamblang. Sehingga pembaca
seperti ikut merasakan apa yang dirasakan sang perempuan malang itu.
Perempuan itu adalah sosok yang tegar dan teguh
pendirian. Perempuan itu tak pernah putus asa menjalani kehidupan dialasi
sandal merahnya. Mungkin seperti itulah watak tokoh yang ingin digambarkan S. Rais. Setelah kematian anaknya
dan kepergian sang suami, perempuan itu gamang menentukan kelanjutan
langkahnya. Ia hanya melangkah mengikuti helai demi helai angin yang sirna
setelah menyapanya. Ia berjalan menyusuri kehidupan dialasi sepasang sandal
jepit merah. Entah harus ke mana lagi. Hingga akhirnya setelah berpuluh-puluh
tahun ia menggelandang, ia mendapat pekerjaan sebagai seorang pembantu rumah
tangga. Tetapi bukan sebuah keluarga yang diurusinya, melainkan sebuah tempat
jual beli narkoba. Bertahun-tahun, ia hidup dalam dunia hitam yang dikutukinya
dalam hati. Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa ijazah pendidikan formal
bagai mendaki gunung tanpa kaki. Mungkin keajaiban Tuhan pulalah yang telah
menghantarkannya pada pekerjaannya saat ini. Berkali-kali majikannya, seorang
bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram
tersebut sekaligus sebagai wanita tuna susila. Tetapi, ia bersikeras walau
sebagai pembantu gajinya sangat kecil.
Begitulah intrik kehidupan yang diceritakan melalui
cerpen ini. Jika di bandingkan dalam dunia nyata sekarang ini, banyak orang
yang rela mendapatkan uang dengan cara apapun. Entah itu orang miskin ataupun
orang yang berada. Mereka tak peduli cara yang mereka gunakan halal ataukah
malah sebaliknya, haram. Tujuan mereka hanya uang dan kebahagiaan dunia. Namun
melalui cerpen ini, Rais dapat memperlihatkan tokoh perempuan sebatang kara yang
tidak tergoda dengan uang dan kesenangan duniawi. Padahal hidup si tokoh perempuan
itu sangatlah menyedihkan. Perempuan itu berpegang teguh pada pendiriannya
untuk tidak terjun ke lembah hitam narkoba walaupun sampai masa tuanya ia tetap
sengsara. Sang pengarang ingin menjelaskan bahwa sesusah apapun hidup kita,
jangan pernah sekali-kali menembus jalan yang haram. Lebih baik sengsara di
jalan yang benar daripada sengsara karena di jalan yang salah.
Dalam
cerpen ini, pengarang begitu menghanyutkan para pembaca dengan rangkaian
kata-kata yang begitu apik. Suasana tergambar dengan jelas. Kesengsaraan hidup
si tokoh perempuan itu di kisah kan secara bertubi-tubi. Cerpen ini hanya fokus
pada si tokoh perempuan itu. Tokoh lainnya seperti Mamat, Zaenal Mutakin, dan
majikan hanya sebuah pelengkap rasa kesengsaraan hidup perempuan itu. Penggambaran
watak tokoh disajikan melalui tutur kata dan perilaku sang tokoh. Rais juga
mendetailkan watak tokohnya melalui ungkapan tulisanya. Hanya saja, alur yang
di ceritakan kurang jelas. Tidak ada pembatas yang jelas antara sebuah kejadian
kini dan lampau. Namun kekurangan
tersebut tertutupi oleh penyampaian lugas gaya bahasanya yang mampu
menghantarkan pembaca ke dalam tiap unsur-unsur kehidupan yang tergambarkan.
Sandal jepit merah. Sebuah motivasi yang menghantarkan untuk mengarungi
kerasnya kehidupan. Walau telah rusak, sandal jepit merah harus diganti dengan
sandal jepit merah yang baru lagi. Bagi perempuan itu, sandal jepit merah
adalah semangat dari hatinya.